Pajak Penghasilan
NPWP Pribadi
NPWP Badan Usaha
SPT Tahunan
Broker Properti
PPh Pasal 21
 

Baru baru ini bisnis waralaba atau franchise berkembang dengan pesat, karena mereka menawarkan peluang bisnis yang relative lebih memberi kepastian mengenai hasilnya. Pada kesempatan ini kami bermaksud untuk membahas salah satu bisnis franchise yang sedang berkembang pesat baik dari local maupun luar negeri yaitu bisnis broker property (untuk selanjutnya disingkat Co) dari sisi perpajakan.

Pertama mengenai PPN, bagi yang mempunyai pendapatan kotor lebih dari Rp 600.000.000 (Enam ratus juta Rupiah) wajib mendaftarkan diri menjadi PKP. Selain itu yang mempunyai target pendapatan lebih dari Rp 600.000.000 (Enam ratus juta Rupiah) dapat mengajukan menjadi PKP pada saat pendapatan kotornya sudah mendekati targetnya atau bersamaan pada saat pengajuan NPWP.

Konsekuensi menjadi PKP adalah Co harus memungut PPN atas semua pendapatannya, jika banyak berhubungan dengan Primary (Developer) tidak menjadi masalah mereka biasanya bersedia dipungut PPN karena dapat mereka kreditkan (bukan biaya), tapi jika berhubungan dengan Secundary market (Rumah Bekas/ sewa menyewa antar pribadi) akan menyebabkan penghasilan menjadi berkurang sebesar PPN, karena biasanya pelanggan pribadi tidak mau dipungut tambahan PPN (tambahan biaya), sehingga komisi yang diperoleh menjadi berkurang karena sudah termasuk PPN.

Kedua PPh 21, Co harus memotong, memungut, dan menyetorkan serta melaporkan semua biaya yang terkait dengan karyawan tetap/ tidak tetap maupun MA (Marketing Associate) dan biaya jasa jasa lainnya yang dilakukan oleh orang pribadi, misalnya service AC, bengkel mobil biasanya 5%. Tarip pemotongan untuk karyawan / MA sama yaitu mengikuti tarip progresif yaitu 5%, 10%, 15%, 25% dan 35% sesuai dengan jumlah penghasilan yang mereka terima.

Ada 2 (dua) pendapat mengenai penerapan tarip pemotongan MA yaitu diberlakukan per bulan atau kumulatif setahun. Masing2 mempunyai alasan sendiri, penerapan perbulan dengan alasan mereka orang ketiga dan tarip yang digunakan sesuai besaran komisi yang dibayarkan pada saat itu. MA mempunyai kewajiban untuk menghitung ulang sendiri kewajiban perpajakan akhir tahunnya, jika pajak terhutang kurang dari yang sudah dipotong harus membayar sendiri. Jika diperiksa pajak ada kemungkinan kekurangan potong dapat dikoreksi (grey area). Apabila MA masih ada/ bekerja koreksi dapat ditagih, jika sudah tidak bekerja maka menjadi tanggungan Co.

Penerapan kumulatif, MA secara operational seperti karyawan secara rutin (setiap Hari/Minggu) masuk hanya statusnya bukan, sebagian belum punya NPWP dan laporan SPT masa PPh 21 per bulannya jika direkap akan terlihat dengan mudah bahwa MA tertentu sudah melewati batas tarip tertentu kenapa masih dipotong dengan tarip yang lebih rendah. Dengan dipotong sesuai dengan tarip tersebut maka pada akhir tahun MA tidak perlu membayar sendiri lagi karena sudah dipotong sesuai taripnya, kecuali mereka mempunyai penghasilan lain.

Keputusan untuk memilih salah satu dari dua alternative diatas diserahkan sepenuhnya kepada WP tentu saja dengan resiko dan mempertimbangkan faktor teknik dan non teknik masing-masing WP.

Ketiga PPh 23, Co harus memotong, memungut, dan menyetorkan serta melaporkan biaya royalty kepada Master Franchise sebesar 15% dan biaya jasa jasa lainnya yang dilakukan oleh badan usaha, misalnya service AC, bengkel mobil dengan tarip 6% (15% x 40%).

Kalau Master Franchise langsung dari Luar Negeri maka terutang PPh 26 sebesar 20%, dan terutang PPN 10%. Jika Negara asal mempunyai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/ Tax Treaty maka tarip PPh 26 menjadi lebih kecil sesuai dengan tarip di Tax Treaty tersebut, sebagian besar negera mempunyai tarip rata rata 10%.

Khusus untuk pelanggan Primary biasanya mereka memotong penghasilan Co sebesar 6%, dan akan mendapatkan bukti potong dari mereka. Bukti potong tersebut merupakan Kredit Pajak Penghasilan Co.

Ke empat PPh 4 (2), Co harus memotong, memungut, dan menyetorkan serta melaporkan biaya Sewa sebesar 10% dan bersifat final. Bagi penyewa tanah dan bangunan yang tidak memiliki NPWP tidak dapat memotong, memungut dan menyetorkan serta melaporkan, sehingga pemilik yang mempunyai NPWP dapat menyetorkan sendiri.

Ke lima PPh 25, adalah pembayaran angsuran atas kewajiban pajak tahun berjalan berdasarkan kewajiban pajak tahun lalu. Untuk Co baru biasanya kewajiban PPh 25 nya nihil, kecuali Co yakin dapat memperoleh laba dari awal berdiri baru melakukan pembayaran PPh 25. Banyak pihak mempunyai pendapat yang salah kaprah bahwa kewajiban pajak tiap tahun harus naik, jika turun maka akan diperiksa oleh pajak. Dasar pemikiran tersebut adalah secara alami Co pasti menginginkan kemajuan dalam usahanya dan laba yang diperoleh meningkat dibanding tahun lalu, tapi pada kondisi tertentu kadang rencana tidak berjalan dengan baik sehingga laba yang diperoleh menjadi lebih kecil, hal tersebut juga disadari oleh Perpajakan sehingga mereka mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa Co dapat mengajukan pengurangan angsuran PPh 25 nya karena laba yang akan diperoleh tahun berjalan lebih kecil dari tahun lalu..

Ke enam PPh 29, merupakan pajak tahunan yang berupa ikhtiar rugi/ laba Co selama tahun berjalan, jika laba harus membayar pajak dengan tarip progresif yaitu 10%, 15% dan 30%. PPh 23 yang sudah dipotong oleh pihak ketiga dan PPh 25 yang sudah Co bayar tiap bulan dapat digunakan sebagai kredit pajak. Jika jumlah pajak terutang lebih besar Co akan membayar kekurangannya. Sebaliknya jika kredit pajak lebih besar dari pajak terutang Co menjadi lebih bayar dan akan diperiksa pajak karena restitusi.

< kembali awal

Jika ada pertanyaan mengenai masalah perpajakan, dapat mengajukan secara tertulis/online (gratis konsultasi perpajakan), melalui 021-70703759, 0815 875 1144,
fax 021 – 5383952 atau email benny_w@indonesiataxconsultant.com

- BROKER PROPERTI
 

COPYRIGHT © 2005-2008. INDONESIA TAX CONSULTANT. ALL RIGHTS RESERVED.
Designed by Tarashakti.